Ngga ngerti jazz tapi nafsu nonton Java Jazz. Itulah saya. Jauh-jauh dari Solo, saya membelah ibukota untuk mendatangi keramaian yang sedang dirayakan seantero warga Jakarta. Motif nonton keramaian lebih besar daripada menikmati musik jazz yang jujur saya ngga terlalu paham. Orang Jawa bilang, “ndelok wong ndelok”.
Java Jazz salah satu festival jazz terbesar di dunia ini digelar selama 3 hari dan sukses menarik puluhan ribu pengunjung. Magnet promosi yang dasyat dan juga hasrat untuk melihat detil pertunjukkan membuat saya bersemangat datang.
Barengan partner in crime Adia Prabowo, saya sudah dibuat shock karena tempat saya menginap, Hotel Borobudur, menjadi tempat digelarnya press conference Java Jazz, bertepatan saya check in. Beberapa artis pendukung juga stay di Borobudur. Adia terlihat kegirangan di lobby berpapasan dengan Corinne Bailey. Saya tak mengerti kalo Hotel Borobudur tempat saya menginap merupakan official hotel Java Jazz 2011. Super bejo, begitulah critanya.
Tak ingin ketinggalan semua pertunjukan, kami berangkat ke Jakarta International Expo Kemayoran tempat perhelatan itu, bersama seorang kawan lebih awal. Java jazz tahun ini didukung beberapa sponsor yang memiliki brand besar seperti AXIS, BNI 46 dan sebagainya. Java Jazz juga memiliki media partner yang semua logonya memenuhi baliho di depan tempat acara. Hampir semua media tak mau ketinggalan berpartispasi dalam event akbar ini.
Masuk ke dalam ruangan saya melihat jadwal pertunjukan pada hari pertama yang menampilkan beberapa artis dunia seperti Santana, Corrine Bailey, serta artis dalam negeri Dira Sugandi, Glen Fredy, Dwiki Dharmawan, Marcel dan sebagainya. Saya agak kecewa ketika mengetahui Santana manggung dengan jam yang bersamaan dengan Dwiki Darmawan, di tempat yang berbeda. Padahal, saya menyukai keduanya.
Hall yang satu dengan yang lainnya, letaknya cukup berjauhan membuat kaki gempor. Lapar dan dahaga datang begitu cepat, merusak konsentrasi menonton pertunjukkan yang dimulai pada jam 18.00 sampai dengan jam 01.00 WIB. Saya bertahan hingga puncak acara dengan tampilnya Santana. Si gitaris gaek ini tampil mengesankan sekali. Dia seoalh membuat lupa dengan penampilan penyanyi-penyanyi sebelumnya.
Bagi saya, Santana belum terlalu tua untuk menghibur melalui lagu-lagunya. Como Va, Black Magic Woman, Maria–Maria dan lainnya. Jujur lagu-lagu itu masih asing di telinga saya, tetapi saya sangat menikmati. Rencana saya, nonton wong nonton dibuat hancur berantakan oleh Santana. Mata saya tak pernah berkedip memelototi panggung utama.
Santana turun panggung. Gairah untuk meneruskan menyaksikan pertunjukkan ini seperti turut dibawa pergi dia. Saya sudak tidak lagi memiliki menonton show selanjutnya. Saya memutuskan duduk lesehan bersama ribuan orang lainnya di hall sembari mengamat-amati sekeliling. Ini lah kesempatan nonton wong nonton, misi yang memang saya bawa sejak dari Solo.
Ternyata saya tidak sendirian di sini, orang yang tak paham jazz berada di belantara jazz. Mereka juga seperti saya, hanya ingin melihat keramaian dan menjadikannya sebagai gaya hidup. Menurut saya, bukan masalah dengan sikap seperti itu. Hanya saja, ada baiknya jika ingin menyaksikan Java Jazz lain kali, harus dengan persiapan yang memadai. Paling tidak, simak jadwal pertunjukkannya plus letak hall yang hendak dituju. Jangan lupa, makan secukupnya sebelum nonton. Hall memang menyediakan cafe, tetapi pengalaman saya, harus antri cukup lama membuat mood menyaksikan pertunjukkan bisa melayang lantaran emosi. Satu lagi, sekalipun menyukai seluruh artis yang tampil tapi jangan terlalu bernafsu untuk menonton semuanya. Lebih baik buat prioritas yang hendak disaksikan karena jika tidak, waktu akan habis di jalan dari satu hall ke hall lain yang jaraknya berjauhan.
Jokowi, Walikota Solo ini memang sosok yang fenomenal. Betapa tidak, di bawah kepemimpinannya, Kota Solo mengalami kemajuan yang signifikan. Tak hanya sukses mengelola pemasaran kota, walikota yang rendah hati ini pun piawai merancang program yang berwawasan lingkungan dan budaya.
Konsep hutan kota , pendestrian dan moda transportasi bus double decker sampai kereta kencana adalah beberapa contohnya. Bulan lalu tepatnya, 30 Maret 2011 ProSolo, komunitas Public Relations Solo Raya mengundang beliau di Paragon Hotel & Residences untuk berbagi cerita.
Mendengarkan paparan Jokowi seperti menyimak suatu dongeng yang menjadi kenyataan. Jokowi sore itu bercerita tentang Solo dengan taglinennya, “Solo Masa Kini adalah Solo Masa Lalu“. Konsep itu menyulap kawasan kumuh di barat Terminal Tirtonadi menjadi Taman Balekambang nan asri, kemudian ada Pasar Ngarsopura, Sriwedari dan modernitas moda transportasi yang hendak dirancang terintegrasi dengan kota tetangga, Jogjakarta. Pendek kata, Solo kini menjadi kota modern namun berkarakter dan berbudaya .
Kesuksesan ini itu sesungguhnya juga melahirkan kecemasan. Wong Solo mulai bertanya-tanya, apakah semua program yang sudah dirintis dan hasilnya juga sudah mulai terlihat itu bisa dilanjutkan oleh penerusnya? Mimpi-mimpin Jokowi itu adalah mimpinya warga kota. Mimpin yang menghendaki Solo sebagai kota modern dan berbudaya. Kota yang maju tanpa kehilangan karakter.
Saya masih melihat, Warga Kota Solo mengharapkan kempimpinan Jokowi tak pernah berakhir.
Judul di atas adalah topik diskusi periklanan yang diselenggarakan di Sahid kusuma, Sabtu 7 Mei 2011. Ratusan mahasiswa periklanan dan praktisi periklanan di Solo membahas berbagai hal tentang ide kreatif dan juga persoalan di industri periklanan saat ini. Saya ketiban sampur didaulat untuk berbicara dari sudut pandang sebagai klien orang iklan.
Di awal diskusi, sebuah pernyataan menarik dikemukakan Mas Iwan dari agency iklan Srengenge Jogjakarta. Dia menyampaikan keprihatinan tentang keberadaan kue iklan yang semakin kecil di daerah. Hal itu berbanding lurus dengan fakta bahwa belanja iklan dari tahun ke tahun terus meningkat. Kue iklan ternyata hanya terkonsentrasi di Jakarta membuat agency di daerah sering gigit jari tak kebagian rezeki.
Selain itu juga perubahan cara-cara komunikasi pemasaran yang menuntut perubahan pendekatan para agency iklan. Di sisi lain agency daerah kadang kurang mampu memberikan solusi komprehensip terhadap klien karena minimnya kemampuan dalam membuat strategic planning.
Keresahan yang muncul di kalangan praktisi iklan adalah kelangkaan sumber daya manusia di dunia ini. Tak heran jika eksekusi iklan kerap kali kurang nendang alias tak maksimal. Kenapa demikian? Karena ide kreatif seringkali hanya diterjemahkan dalam bentuk desain. Masih sedikit yang menerjemahkan ide kreatif sebagai konsep komunikasi sebuah brand dalam jangka panjang. Biro iklan daerah sering hanya menjadi “tukang” karena tidak bisa mengeksplorasi ide-idenya lantaran rendahnnya pemahaman klien tentang fungsi agency iklan.
Namun di sisi lain, agency iklan juga prihatin ketika klien mereka ternyata juga kurang memberikan apresiasi terhadap ide kreatif. Hal itu terlihat dari penghargaan terhadap output kerja praktisi periklanan. User iklan hanya bersedia membayar biaya produksi sebuah produk iklan tanpa memperhitungkan “harga” sebuah ide kreatif desain iklan.
Idealnya memang klien dan biro iklan memiliki pengetahuan iklan yang baik. Hal itu dikarenakan sebenarnya tidak akan ada iklan yang bagus tanpa agency yang kreatif dan klien yang memiliki wawasan luas. Agency iklan dan klien yang kebanyakan digawangi oleh marketing communication ini mestinya mau belajar bareng. Dengan demikian Agency iklan akan mampu menjadi sparing partner bagi kliennya, begitu juga sebaliknya.
Diskusi pun semakin seru ketika saya menyampaikan pandangan tentang perubahan alokasi belanja iklan yang memberikan porsi lebih pada pengelolaan social media. Nasib biro iklan yang berbasis grafis desain ke depan menjadi sebuah karena sedang terjadi perubahan besar. Era digital telah tiba dan agency iklan harus siap menyambut era baru tersebut dengan penyesuaian dan pengetahuan. Kunci semua hal tersebut sebenarnya adalah pendidikan yang benar.
“Dari mana aku mendapat pelipur penguat hati? Ialah dengan sedikit–dikitnya memikirkan diriku sendiri, dan sebanyak–banyaknya dan terutama sekali kepada orang lain “. (RA Kartini) Read the rest of this entry »