“Di keluarga saya bobot, bibit dan bebet tidak berlaku” (Koko Srimulat)
Malam itu perasaan saya bungah bukan kepalang, Sebuah tema tentang grup komedian kondang Srimulat berhasil saya hantarkan ke pendengar radio. Ceritanya Senin malam tiga minggu lalu saya menjadi host tamu dari sebuah acara bertajuk An Evening with Retno Wulandari di 103 Soloposfm.
Narasumber saya malam itu adalah keluarga besar dari Dinasti Srimulat. Kenapa saya memilihnya? Srimulat adalah legenda dan kebetulan saya mengenal keluarga besar Srimulat sejak saya masih SMA. Bergaul dengan pelawak dan putra putri mereka, mengakrabi kehidupan sekaligus pahit getirnya. Pilihan topik tentang Srimulat merupakan bentuk rasa hormat dan kecintaan saya terhadap grup ini .
Tiga narasumber talkshow radio itu adalah Koko, Mia yang keduanya merupakan putra putri bu Jujuk serta satunya lagi mas Sony Setiawan penulis buku trilogi Srimulat. Suasana ger-geran langsung pecah di studio tatkala saya mengupas hal-hal pribadi tentang Srimulat. Mia bercerita semasa kecil sering menangis di sekolahan lantaran teman-teman sekelas meledeknya dengan cara memberi coretan kumis pada buku tulis yang kebanyakan bergambar ibunya dan almarhum pelawak Gepeng. Suka duka menjadi anak dagelan pun menjadi cerita guyonan yang menyenangkan.
Namun dari semua yang kami bahas malam itu, ada satu kalimat yang membuat saya tercengang sekaligus terkesan. Ketika saya bertanya tentang kebijakan keluarga tersebut memilih calon menantu, Koko bilang di keluarganya bobot, bibit dan bebet tidaklah berlaku. Sepanjang mereka saling mencinta, maka Bu Jujuk dan Pak Teguh akan merestuinya apapun latar belakang calon menantunya. Saya sungguh terkesan jawaban itu, meski saya tak yakin apakah saya mampu mengimplementasikannya dalam keluarga saya. Cinta memang selalu datang tanpa pertimbangan, cinta tak bisa memilih tapi apabila kita menikah tidakkah kita berhak tetapkan kriteria,??? Atau memang hidup harus berjalan apa adanya, tinggal kita menjalani dan menuruti semua panggilan hati. …
Sampai tulisan ini saya buat tak saya berhasil temukan jawabnya, pada siapa kita mesti mengabdi pada logika atau kata hati…? Malam semakin senyap, tanya yang tak terjawab, hidup yang tak terceritakan, bagai satire dunia srimulat.. Dalam gelak tawa,ada kepedihan yang dalam. Ketika lakon tak seindah panggung cerita dagelan..
Gedung 3 Fakultas Hukum UNS, menjadi saksi gelora saya siang itu. Ratusan kali mungkin sudah saya menuliskan bahwa bertemu anak muda selalu membuat harapan saya terbakar. Kampus adalah dunia bagi saya meletakkan harapan besar akan lahirnya pemimpin pemimpin masa depan. Disinilah awal dari pergulatan ide, pergerakan intelektual serta jaringan yang tak kenal batas. Mahasiswa sekarang ini berada di jaman yang sungguh sungguh gokil. Asik sekali melihat dinamikanya. Bukan bermaksud membandingkan tapi rasanya generasi saya layak cemburu.
Bayangkan ketika NKK/BKK diterapkan di kampus pada masa orde baru, apa sih yang bisa dilakukan oleh mahasiswa saat itu…Di saat itulah era pikiran dan pendapat hendak diseragamkan. Kemerdekaan berpikir menjadi barang mahal dan langka. Dan siang itu saya diundang untuk menjadi pembicara public speaking di mantan kampus saya tercinta. …
Berada di kampus bukan hanya mengoyak segala kenangan, tapi semacam ajang pelampiasan tepatnya. Saya menyukai dunia pemikiran, namun saya lebih cinta alam tindakan. Berbicara bersama dengan mahasiswa adalah menjadi sebuah alat untuk mencapai tujuan…
Sebelum giliran saya tampil, saya menyimak materi pembicara pertama yakni seorang anak muda yang hebat. Baru lulus kuliah FISIP UGM tetapi sudah ratusan kali bicara di depan publik. Namanya Agung Baskoro. Pemenang The Next Leader versi MetroTV. Saya terkesima dengan wawasannya. Sungguh potret anak muda yang hebat. Mampu memanfaatkan waktu dan jaringan sebesar-besarnya untuk membangun kemanfaatan diri dan lingkungan.
Namun di antara semua kehebatan yang dimiliki, saya tertarik dengam satu hal. Agung Baskoro memiliki aktivitas rutin yang dia namakan berburu tokoh. Konon dalam perburuan itu dia bisa mendapatkan pengetahuan dan energi positif dari sang tokoh. Anak muda yang mau terus belajar, menggali dan mendengar. Ciri khas seorang calon pemimpin di masa depan.
Itulah kenapa saya mencintai kampus..Saya yakin di kampus saya akan semakin banyak bertemu Agung Baskoro, Agung Baskoro yang lain. Tentu saja dalam versi yang berbeda…….
Terima kasih utk Rachel Georghea Sentani, yg telah mengundang saya hari ini, Rabu 9 November 2011