Best Western Premier hotel bintang empat yang mengusung icon batik, pada hari Rabu 22 Desember 2010 lalu menjadi lokasi diskusi komunitas ProSolo. Tema yang diperbincangkan adalah Langkah dan Positioning Kota Solo Pasca Merapi. Ajang sharing rutin bulanan bagi komunitas public relation (PR) itu, kali ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Irfan Sutikno dari Fresh Blood Communication Solo, Amir Tohari (Solopos) dan Drs Budi Sartono Msi yang mewakili Dinas Pariwisata Solo dan dimoderatori Benk Mintosih.
Bencana Merapi sebagaimana diketahui memberikan dampak sosial dan ekonomi secara tidak langsung bagi Kota Solo. Seperti ditutupnya Bandara Adisumarmo dan pembatalan sejumlah event yang sedianya diselenggarakan di beberapa hotel di Solo. Di sisi lain dampak positif juga dirasakan karena meski terpaksa membatalkan event, sejumlah hotel itu mendapatkan luberan tamu dari musibah Merapi tersebut. Banyak tamu yang sementara waktu menginap di Solo dengan berbagai alasan.
Tidak hanya itu, pengiriman logistik bantuan bencana yang dikonsentrasikan di Solo dan membutuhkan akomodasi juga menjadi “berkah”. Ada beberapa perusahaan yang sebelumnya berkantor yang di Jogja sementara dipindahkan ke Solo. Lantas bagaimanakah Solo menyikapi bencana Merapi yang seperti pisau mata dua ini? Sebagai musibah ataukah “berkah?
Tentu kami bukan bermaksud menari di atas kesulitan wilayah lain jika musibah itu ditangkap sebagai peluang. Kami ingin melakukan eksplorasi bagaimana seharusnya menyiapkan pengelolaaan komunikasi yang efektif berkaitan dengan bencana tersebut. Tentu saja agar bisa mengambil hikmah, baik itu hikmah persepsi ataupun hikmah secara ekonominya.
Dari perbincangan di dalam acara itu ada beberapa point penting. Di antaranya adalah pentingnya memahami branding kota bagi setiap elemen masyarakat. Branding Kota Solo dengan tagline, Solo The Spirit of Java masih belum bisa menjadi roh untuk menjadikan Solo sebagai daya tarik. Daya tarik bagi orang untuk datang ke Solo, bukan karena terpaksa seperti saat musibah Merapi.
Solo The Spirit of Java tentu bukan hanya sekadar tagline, tetapi harus menjadi energy. Dan itu masih membutuhkan sosialisasi agar bisa dipahami masyarakat Solo. Apalagi, Solo juga memiliki banyak tagline lainnya, yang ternyata itu membuat pengelolaan brand Kota Solo menjadi kurang focus.
Solo dari kacamata praktisi PR, masih sering kehilangan momentum. Berbagai peristiwa yang sebenarnya bisa menjadi moment penting untuk menguatkan brand kota, justru terabaikan. Memang tidak dipungkuri, Kota Solo mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai pihak, tetapi itu juga dirasa tidak mampu menggaungkan brand sehingga resonansinya lebih bergema , terutama ke publik eksternal yang menjadi targetnya.
Tentu kami tidak bermaksud mengecilkan hasil kerja Walikota Jokowi yang fantantis selama enam tahun ini. Kami hanya ingin memberikan masukan. Rasanya Kota Solo memang harus mengelola branding kotanya secara serius dan profesional agar Solo lebih moncer di kemudian hari.