Siapa yang tidak bungah mendapatkan pujian? Begitu pula saya ketika mendengar Kota Solo dipuja puji Wakil Presiden Budiono saat berkunjung ke Nanning China. Pada acara China Asean Expo (CAEXPO) ke-7, Pak Bud bahkan menobatkan Kota Solo sebagai Kota Pesona atau City of Charm. Solo dianggap mampu mengatasi berbagai masalah perkotaaan dengan baik dan menjadi menjadi contoh perkembangan demokrasi yang sehat dan dinamis. Solo yang dianggap bersumbu pendek telah berubah menjadi etalase Indonesia.
Sebagai warga kota ini, saya merasakan langsung perubahan nyata itu. Selama lima tahun terakhir ini Solo bergerak cepat, bahkan meninggalkan Jogja. Bukan dengan slogan atau pencitraan karena menurut saya produk telah berpromosi sendiri. Kota Solo tak memiliki semacam tagline namun branding kota ini cukup kuat. Dulu pernah muncul tagline Solo the Spirit of Java, tetapi hanya di awal peluncuran gaungnya terdengar dan meredup setelah itu.
Intensitas pagelaran kebudayaan yang disusun dalam kalender event Kota Solo lah yang mendorong awareness public. Saat ini sebenarnya Solo tinggal belajar bagaimana me-manage event-event itu agar dapat memberikan multi player effect kepada masyarakatnya. Sudah saatnya semua event yang ada dikelola secara professional. Artinya tidak lagi semata mata menggantungkan dana dari pemerintah.
Upaya positif yang sudah diinisiasi oleh duet pemimpin kota, Jokowi dan Rudy harus disambut dengan kerja cerdas dan kerja keras oleh warganya. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan itu bukan hanya pekerjaan Jokowi-Rudy semata, tetapi juga seluruh stakeholder kota.
Satu hal yang menjadi prioritas adalah minimnya jalur penerbangan. Kota ini telah memiliki bandara internasional yang megah tetapi akses penerbangan tetap menjadi kendala. Selain itu, branding kota juga belum dirancang maksimal. Solo butuh dirijen untuk “berkomunikasi “ dengan lebih efektif dan terintegrasi agar pesona kotanya kian moncer. (***)