Belakangan banyak selebritis, tokoh tokoh besar bahkan perusahaan yang mengalami krisis “pencitraan” karena kasus-kasus hukum. Biasanya, mereka lantas menggunakan jasa lawyer atau public relations (PR) untuk membantunya. Namun acap kali, strategi yang dipergunakan justru menjadi bumerang.
Kegagapan menghadapi krisismemang hanya akan melahirkan kebingungan yang gilirannya membuat langkah-langkah yang dilakukan menjadi tidak taktis. Menggunakan jasa lawyer atau PR atau kedua-keduanya bukan sesuatu yang salah. Tentu saja sepanjang lawyer dan PR memiliki kesadaran dan cara pandang yang sama dalam memotret krisis tersebut.
Sesungguh bukan perkara yang mudah bagi PR dan lawyer untuk melakukan sebuah aliansi menyelamatkan citra perusahaan atau tokoh selebriti yang dilanda krisis citra. Hal itu karena fungsi dan peran kedua profesi ini memang berbeda. Justru itulah kenapa topik “ Sinergi Hukum dan public Relations dalam penyelesaian masalah korporasi “ ini yang dipilih sebagai materi diskusi Komunitas Public Relations Solo Raya (ProSolo) pada Selasa 6 Juli 2010 di Sukoharjo Room Sahid Jaya Hotel Solo.
Diskusi ini dihadiri oleh puluhan public relations, praktisi hukum , dosen dan mahasiswa berlangsung seru dan menarik. Bagi PR, pengadilan sesungguhnya adalah opini publik, dengan masyarakat luas yang menjadi hakimnya. Dalam menghadapi “pengadilan” ini, PR menyarankan perusahaan apa yang sebaiknya dilakukan agar citra perusahaan tidak semakin jatuh di mata masyarakat. PR membuat statement untuk mengundang simpati publik.
Sementara bagi lawyer, pengadilan adalah pengadilan formal seperti yang ada dalam system peradilan. Tugas pengacara untuk membuat saran apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan agar benar di depan hukum. Lawyer akan mengatur kliennya agar dapat tampil efektif di pengadilan. Lawyer dengan segala kemampuannya berusaha membebaskan kliennya dari tuduhan. Dalam hal ini lawyer tidak memiliki tanggung jawab untuk mengelola opini publik.
Meski ruang pengadilan berbeda, namun sesungguhnya lawyer dan PR sebenarnya harus berjalan beriringan. Kalau tidak, maka seperti yang terjadi pada kasus Prita Mulyasari vs RS Omni International. Dalam kasus ini, bagaimana perusahaan mendapatkan kemenangan di pengadilan namun gagal di “pengadilan” lain. RS Omni International menang di pengadilan legal formal tetapi kalah telal di pengadilan masyarakat. Hal itu bisa terlihat dari tidak ada secuilpun simpati public yang diperoleh perusahaan itu.
Padahal, keberlangsungan sebuah perusahaan tentu tak hanya selesai pada saat memenangkan perkara di pengadilan. Apalah artinya perusahaan itu memenangi pengadilan legal bila gagal merebut hati customer? Oleh karena itu sinergi antara pengacara dan PR mutlak perlu dalam penyelesaian kasus-kasus semacam ini.
Itu artinya, PR mesti mengerti tentang hukum dan bahasa hukum. PR juga juga harus paham strategi yang akan dipakai oleh lawyer sehingga mereka mampu membangun komunikasi atau mengisi celah yang kosong dalam melakukan komunikasi publik. Dengan demikian, tatkala menjalankan tugasnya menjelaskan persoalan yang dihadapi perusahaannya, PR itu mengerti posisi hukum dan resiko resiko hukum yang akan muncul.
Demikian pula sebaliknya bagi lawyer juga musti memiliki pengetahuan mengenai ilmu public relations. Tanpa sinergi seperti itu, alih-alih badai krisis dapat terselesaikan, yang terjadi justru adalah krisis baru. (***)
Setuju banget mbak. Sebaiknya bukan Lawyer yang diminta bagaimana ‘mengelola’ opini publik. Praktisi PR memang yang memahami secara mendalam bagaimana berstrategi jitu dalam pencitraan. Karena di management perusahaan baik barang atau jasa, image sangat berpengaruh terhadap perolehan laba. Unilver misalnya ‘membanjiri’ TV untuk mendapatkannya. Pun sebagai public figure, pencitraan sudah mutlak (abadi-www.bandungculture.com)