Nggak Narsis Nggak Exis??

Belakangan ini saya sering mendengar ungkapan, nggak narsis nggak exis. Tetapi apa sebenarnya hubungan kenarsisan dengan existensi bagi sebuah perusahaan? Apakah perusahaan perlu melakukan kenarsisan agar mendapat perhatian publik? Kalau iya, tentu kenarsisannya harus dikemas agar tidak mengganggu reputasi ??

Ketika Merapi bergolak menyebabkan puluhan ribu warga di sekitar gunung itu mengungsi, perhatian dari masyarakat sungguh sangat luar biasa. Hampir semua kalangan menyingsingkan lengan bajunya untuk membantu korban bencana ini. Bantuan terus mengalir. Presiden SBY  pun memutuskan berkantor di  Gedung Agung Jogjakarta agar bisa memimpin langsung penanganan  bencana ini.

Simpati terhadap korban Merapi seperti tanpa ada putusnya. Rasanya bangga menjadi orang Indonesia melihat semua elemen masyarakat saling bahu membahu ,bergotong royong, saling membantu  dan merasakan  bencana  sebagai kesedihan bersama. Namun di balik itu, terutama berkaitan dengan pemberian sumbangan yang deras mengalir ke sekitar Merapi, ada satu hal yang perlu untuk dicermati dalam konteks ke-PR-an yakni perilaku perusahaan, organisasi ataupun partai politik dalam memberikan bantuan.

Mereka ini sering kali memasang atribut promosi secara besar-besaran di sekitar daerah bencana.  Banyak pihak yang menyayangkan hal tersebut, bahkan Sultan Hamengkubowo  X pun sempat terusik. Raja Kasultanan Ngayogyakarta yang juga Gubernur DIY ini memerintahkan agar atribut promo atau bendera parpol dicabut dan diganti dengan bendera merah  putih. Pemasangan atribut tersebut seakan memberi kesan bahwa gerakan  kemanusiaan yang dilakukan tidak tulus, bahkan menjadikan korban bencana sebagai obyek yang diexploitasi untuk pencitraan.

Benarkah? Sebagai praktisi PR, saya berpendapat bahwa membantu korban bencana dengan melakukan branding  perusahaan sebenarnya sah-sah saja. Asalkan dilakukan secara proposional. Perusahaan sering melakukan penggalangan dana  kemanusiaan. Baik dari karyawannya sendiri atau public misalnya dari  pelanggan atau relasi perusahaan. Tentu saja dana itu harus dipertanggung jawabkan. Penyerahan dana tentu juga harus terdokumentasi  dan terkomunikasikan dengan baik.

Namun saya sangat tidak setuju, apabila perusahaan mengambil kesempatan atau mencari untung dari bencana ini  melakukan branding  dengan  mengabaikan  norma kepantasan atau  aturan . Misalnya memasang umbul-umbul tetapi tidak membayar pajak. Branding bisa saja tetap dilakukan dengan cara yang santun dan sederhana yakni bertindak sesuai dengan  takarannya. Perusahaan harus peka rasa.

Senarsis-narsisnya mereka yang peduli  tetap lebih narsis mereka yang tak peduli. Selamat menyumbang ..

Beri Komentar