Dalam Wikipedia disebutkan Cendana adalah sejenis kayu wangi yang saat ini sangat langka dan harganya sangat mahal. Kayu yang berasal dari daerah Mysoram di India Selatan ini dianggap paling bagus kualitasnya. Minyak dari Cendana juga menjadi obat alternatif dalam penyembuhan cara Ayurveda terutama untuk menghilangkan rasa cemas. Kayu Cendana dipercaya bisa membuat orang lebih dekat dengan Tuhan.
Di Indonesia, setiap kali mendengar kata Cendana, asosiasi kita langsung akan tertuju ke sosok yang tidak asing lagi, yakni mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Penyebutan itu kerap digunakan di media massa sebenarnya untuk menunjuk nama jalan tempat di mana rumah pribadi Soeharto dan beberapa putranya berada, yakni Jalan Cendana.
Saya tidak tahu, mengapa jalan di depan rumah Pak Harto dan putra putranya bernama Cendana. Apakah ada kaitan atau sebuah kebetulan. Namun yang jelas, Mantan Presiden Soeharto seperti halnya Cendana juga menjadi “istimewa” karena meski sudah meninggal 1.000 hari silam, tetap saja menarik perhatian banyak kalangan. Terakhir ini adalah saat ada sejumlah tokoh yang mengusulkan pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya.
Usulan itu pun menjadi perdebatan karena di semua tempat. Salahnya satunya adalah di jejaring social twitter. Dua orang tokoh, aktivis LSM, Fadjorel Rahman berdebat sengit dengan Staf khusus Presiden, Andi Arief. Di luar debat itu, Soeharto menjadi tokoh yang dibenci sekaligus dicintai.
Beberapa hari lalu, tepatnya 21 Oktober 2010 saya datang dalam acara tahlilan 1000 hari Soeharto di nDalem Kalitan Solo. Ribuan orang hadir sebagian bahkan tanpa undangan yang memaksa untuk datang dan rela menunggu berjam jam sebelum pintu gerbang dibuka. Hujan deras yang menyapu kota Solo tak menghalangi niat mereka untuk mendoakan beliau. Seperti sebuah kutub yang berbeda, karena di ujung sana, ada realita yang sama sekali berbeda. Tidak ada yang bisa menafikkan bahwa hujatan dan kebencian yang ditujukan kepada Soeharto juga tak pernah kendur.
Saya tak ingin berada di dua kutub yang bertolak belakang itu. Saya memilih untuk mendengarkan kata hati. ”Ya Allah, Engkaulah yang Maha Memutuskan, siapakah yang menjadi pahlawan dan siapakah yang menjadi pecundang ??? Bagi saya, pahlawan adalah legitimasi hati bukan legitimasi negara. Negara mampu meluluskan seeorang untuk menjadi pahlawan atau tidak, tapi mampukah hati rakyat dibendung untuk melantukan doa tulusnya kepada pemimpin yang mereka cintai entah itu kepada Soekarno, Soeharto atau bahkan kepada seorang Aidit atau Widji Tukul.
Bagi saya sosok pahlawan ada dalam benak dan hati mereka masing-masing. Makanya saya merasa tak perlu untuk ikut berdebat apalagi melakukan provokasi agar orang lain ikut menolak ataupun mendukung. Biarlah mengalir apa adanya, karena pahlawan sejati tak perlu dikondisikan , didorong atau disurvei. Bahkan yang mati pun belum tentu menginginkan gelar itu. (***)
saya juga tidak peduli, mo jadi pahlawan atau bukan, baik buruk amal seseorang itu hakikinya yang menilai adalah Gusti Ingkang Maha Kuwaos…
soal cendananya, saya suka harumnya…
*bila menghirup harum cendana, saya selalu teringat saat malam pertama… haks!…*
setuja mbak..galar pahlawan adalah legitimasi hati. kita sebagai manusia tidak dapat menentukan siapa siapa yang bener-benar menjadi pahlawan. pahlawan bagi kita belum tentu pahlawan bagi orang lain. yang paling penting bukan gelar kepahlawanannya tapi sikap kepahlawanannya.
sependapat sama mbk retno,,,pahlawan sebuah gelar yang diberikan karena suatu jasa pada masyarakat,,,,pahlawan pun juga hanya manusia biasa yang tidak sempurna,memiliki sisi positif dan sisi negatif… jadi pahlawan ato bukan pahlawan mending g usah diperdebat kan,,, damai,,,damai,,, 🙂