Di dalam sebuah acara, panitia kerap memberikan souvenir kepada tamu undangannya. Souvenir itu bisa beraneka rupa, mulai dari kaos, kipas, mug, topi dan sebagainya. Di berbagai acara yang pernah saya datangi, saya jarang –untuk tidak menyebut tidak pernah—ada event yang memberikan souvenir kepada tamunya berupa buku. Padahal, souvenir buku menurut saya jauh lebih bermanfaat daripada dalam bentuk lainnya.
Seperti yang pernah saya alami dua tahun silam, saat saya mendapat kesempatan mengikuti upacara 17 Agustus di Istana Negara. Ikut upacara di Istana Negara, boleh dikatakan mimpi saya karena sejak kecil saya suka sekali menyaksikan upacara tujuhbelasan di Istana melalui layar televise, terutama menyaksikan Paskibraka. Karenanya, begitu mendapatkan undangan ke Istana, saya tak mau melewatkan.
Ada satu hal yang menarik di luar upacara kenegaraan tersebut. Saat datang, sebagai tamu undangan saya mendapatkan sebuah tas berukuran besar. Di dalamnya ternyata berisikan beragam souvenir. Seingat saya ada mug, kipas dan buku. Buku yang saya dapat berjudul Harus Bisa, yang ditulis Dino Patidjalal, yang kala itu adalah staf khusus kepresidenan.
Perasaan saya bungah sekali mendapati souvenir buku bersampul biru yang berkisah tentang Presiden SBY tersebut. Buku itu pun menghiasi rak buku koleksi saya. Seingat saya, ketika itu tak ada yang mempersalahkan pemberian souvenir buku kepada tamu undangan upacara kenegaraan seperti yang terjadi pada upacara 17 Agustus tahun ini.
Seperti yang kita ketahui bersama, buku tentang Ibu Ani dan anaknya, Agus Yudhoyono yang dibagikan kepada tamu undangan di upacara 17 Agustus 2010 menjadi buah bibir dimana-mana mulai dari obrolan di jejaring sosial sampai media massa. Pembagian buku itu dinilai tidak etis dibagikan dalam acara kenegaraan. Tidak sedikit yang beranggapan SBY mengambil momentum kenegaraan untuk “mempromosikan “ keluarganya.
Sampai saat ini, setelah tiga bulan berselang, saya tidak mengerti kebenaran prasangka itu. Namun yang jelas, saya lebih suka kalau pemberian souvenir buku seperti yang pernah saya terima atau yang terjadi pada upacara 17 Agustus 2010 itu tetap dilakukan. Sederhana alasannya, pemberian souvenir berupa buku dapat menjadi bagian dari upaya meningkatkan minat baca. Daripada memberikan souvenir benda-benda yang hanya sekadar fungsional, bukankan buku lebih bermanfaat?
Bila persoalannya adalah jenis buku yang diberikan itu dianggap bernuansa kampanye, maka sebaiknya buku yang dijadikan souvenir bukan hanya buku yang dikeluarkan atau dibuat “penghuni istana”. Bukan begitu friends?
Pena lebih tajam dari pedang…,
Tentunya kalau buku lebih dari pedang kan ?
….
boleh dicoba thu….
tapi bisa berjalan dengan sukses tu buk program souvenir bukunya..??
kita tau bahwa minat baca di negara kita sangat memprihatinkan…
boleh dicoba thu…
tapi kita kan tau…minat baca negara kita rendah…