Beberapa hari ini telepon rumah saya mendapat gangguan. Saya memang memiliki telepon genggam untuk berkomunikasi. Tetapi, gangguani tu membuat saya merasa tidak nyaman juga lantaran keluarga sering memilih menghubungi saya dengan menggunakan telpon rumah. Mungkin karena nomornya hanya enam digit dan mudah diingat daripada nomor ponsel 11 angka.
Saya lantas menghubungi 147, nomor yang disediakan PT. Telkom Tbk untuk complain. Dalam hati saya sebenarnya tertawa karena setiap hari pekerjaan saya berhubungan dengan penerimaan komplain, kali ini mengajukan komplain. Menjadi public relation memang tidak bisa mengelak dari urusan komplain.
Berkaitan dengan komplain, saya pernah ”dipaksa” untuk mendengarkan komplain seorang tamu yang menurut saya memiliki ketahanan luar biasa untuk marah karena berjam-jam. Bayangkan, si tamu ini menumpahkan kemarahan sejak breakfast sampai dengan makan siang tanpa beranjak dari restoran sedetik pun. Uniknya, si tamu itu ternyata tak memerlukan tindakan atas komplainnya. Dia hanya ingin saya mendengarkan keluhannya belaka.
Protap (prosedur tetap) menangani komplain pun terpaksa saya nafikan. Untuk sementara tata cara dan urutan penanganan keluhan yakni langsung bereaksi begitu permasalahan yang dikeluhkan teridentifikasi tak saya jalankan. Apalagi setelah saya mengetahui bahwa alasan komplain itu sesungguhnya bukan hanya karena persoalan pelayanan di hotel belaka, yakni soal kunci kamar yang bermasalah. Rupanya si tamu ini merasa lelah dengan persoalan di kantornya. Kunci kamar yang bermasalah menjadi stimulan sexy untuk memuntahkan amarahnya.
Saya pun rela menjadi pendengar atas segala uneg-unegnya tentang berbagai hal selama berjam-jam. Kedengarannya memang konyol tetapi sebenarnya pekerjaan itu menyenangkan. Apalagi ketika si tamu tersebut berhasil melunakkan kemarahan setelah saya saya bersedia menjadi pendengar yang baik. Bahkan kerusakan kunci kamar yang semula dipersoalkan itu tidak lagi dianggap masalah. Betul kata pepatah ’Setiap stakeholder itu unik dan butuh penanganan berbeda pada setiap masalahnya ”
Telkom nampaknya memahami benar bagaimana mengelola komplain dari pelanggan. Meski hanya disampaikan lewat telepon, namun Telkom menanggapi baik, penuh sikap respek dan empati. Pihak telkom pun menjanjikan untuk segera mengirimkan tehnisinya untuk mengecek kerusakan. Bukan hanya sekedar janji untuk menyenangkan pelanggan yang komplain, tetapi benar-benar direalisasikan. Telkom langsung mengirim staf seperti yang dijanjikan dan datang tepat waktu pula. Dan yang terpenting menindaklanjuti pekerjaannya dengan sempurna.
Tanggapan komplain saya ternyata tidak berhenti di situ. Sehari setelah perbaikan telpon tersebut, saya mendapatkan telepon dari pihak Telkom yang menanyakan apakah kerusakan telpon telah diatasi dan menanyakan apakah masih ada keluhan lain atas pelayanan Telkom. Hanya itu kah? Ternyata tidak dan ini yang membuat saya sungguh terkejut adalah pertanyaan “investigatif” apakah saya dipungut biaya oleh petugas ketika mereka melakukan perbaikan. Saya pun menjawab apa adanya bahwa perbaikan telpon dilakukan tanpa pungutan apapun.
Tahapan penanganan keluhan yang dilakukan oleh TELKOM terasa sempurna karena pada tahap akhir perusahaan ini memastikan kepada customernya apakah keluhan telah tertangani dengan baik dan menghasilkan kepuasan pelanggan. Sesuatu yang sering dilupakan oleh sebagian perusahaan yaitu memastikan kepada pelanggan apakah pelayanan keluhan telah sesuai dengan yang diharapkan .
Wah, tulisan yang bagus.
Blog yang bagus pula.
Senang menemukan blog ini.
Terima kasih.
terimaksih mas ody, hanya mencoba sharing aja kok
aku belajar dari mbak retno…yaaaaaaaaa
saya juga masih terus belajar kok, enaknya kita belajar bareng aja yaaa
Membaca artikel ini, saya jadi tersenyum. Mengapa? karena dalam artikel ini digambarkan teori nya saja. Pada prakteknya, konsep pelayanan yang baik sangat sulit dilakukan. Bila dapat dilakukan pun ternyata sering tidak secara konsisten. Saya sendiri tidak tahu bagaimana cara membuat konsistensi terhadap sesuatu hal…
salam,
Bolehngeblog
terimaksih, memang tulisan ini ingin menggambarkan teori dan aplikasinya di lapangan,saya setuju bahwa konsistensi akan menjadi salah satu kunci sukses bagi penanganan complain yang dilakukan suatu perusahaan.
…. I always wanna b like u. I mean a person like u.
makasih mas ludi, panjenengan yang hebat, dospundi kbrnya??
assalamualaikum…..komplain buah ungkapan rasa yg dipilih utk direspon menjadi emosi mitra kita, dia pilih dgn lisan,dengan diam, dengan fitnh tambahan diluar….macem macem…Akhirnya kita respon dgn pilihan kita. seperti materi ini. akhirnya kita simak baik2,kita dengarkan, kita renungkan dan ketemu dengan ‘wangsit’ f.up ternyata kita benahi sedikit harapan mereka yg tdk presisi dgn setingan kita……terus jadi ide utk kita kembangkan mlalui materi baru hanya sedikit bumbu saja…………aku yakin kreasi akan mengikuti kta sbg valensi yg ngruen dg motivasi,konsisten/istiqomah, doa dan action…..sukses terus
Seneng Banget Baca blog ini, banyak manfaat yg kudapat. Terima kasih. Sukses selalu.
Menarik tulisan ini, namun contoh yang digunakan rasanya kurang tepat bagi saya, sebab saya punya pengalaman yg berbeda tentang cara telkom menyelesaikan complaint. Telkom hanya akan memberikan respon yang baik bahkan cenderung “berlebih-lebihan” apabila kita dapat “mengancam” pihak telkom. Perusahaan yg baik dalam mengelola complaint, apabila respon atas complaint tersebut sama, terukur dan memberikan solusi, bukan ditentukan oleh berat/ ringan atau serius/ kurang serius atau siapa yang compalint. Dalam hal ini saya menilai Telkom telah gagal.